TAMBO RANTAU: (Kabar dari Nagari Laki-Laki)

Tambo RantauTAMBO RANTAU: (Kabar dari Nagari Laki-Laki) berangkat dari tematika ‘rantau’, satu persoalan yang dekat dengan budaya dan kehidupan masyarakat Minangkabau. Namun seiring bergantinya zaman, persoalan merantau agaknya tak lagi sama, sehingga perlu dikaji dan didialogkan bersama lagi. Karena itu, teks TAMBO RANTAU:Kabar dari Nagari Laki-laki dikonstruksikan bersama oleh para pendukungnya dari data empiris mereka masing-masing. Melalui diskusi tematik dan eksplorasi artistik intensif selama 4 bulan, Teater TAMBOLOGI berusaha membangun metode penciptaan sendiri, yang diharapkan dapat mulai dijajaki pada proses TAMBO RANTAU ini.

Demikian halnya dengan pilihan gaya artistik. TAMBO RANTAU: Kabar dari Nagari Laki-laki mencoba menggabungkan beberapa gaya artistik. Seleksi artistik dilakukan berdasarkan kebutuhan pemanggungan khas kondisi publik teater Sumatera Barat masakini. Oleh sebab itu, pertunjukan ini sengaja dipentaskan di dua lokasi yang telah disebutkan terdahulu. Harapannya, potensi artistik TAMBO RANTAU: Kabar dari Nagari Laki-laki dapat mengatasi keterbatasan ‘panggung’ pada dua tempat tersebut.

Karya peraih Hibah Seni untuk kategori Karya Inovatif ini, didukung oleh sejumlah nama, yang diharapkan dapat memberi nilai lebih pada garapan ini. Selain dua pendiri Teater TAMBOLOGI, yakni Dede Pramayoza dan Wendy HS, di belakang produksi TAMBO RANTAU: Kabar dari Nagari Laki-laki, terdapat nama-nama seperti: Sahrul N (Pimpinan Produksi), Pandu Birowo (Dramaturg), Syukra Maulana (Musik Direktor), serta Andy Jagger, Suci Fitri, Winda Sesmita, Fitri Noveri dan Roni (Aktor).

Untuk Informasi Pertunjukan, silahkan menghubungi: Sekretariat Teater Tambologi, Jl. Bahder Johan No. 15 Kampung Dobi Pasar Usang Padangpanjang Sumatera Barat 27128. Telp. 0752-7030738, HP.085274742300/081363594788, atau e-mail:tambologi@yahoo.com, dialekticaku@yahoo.co.id, deprayoza@gmail.com



Oleh:
Dede Pramayoza
READ FULL ENTRY>>

Tentang Teater TAMBOLOGI

Merupakan lembaga non profit, yang mempertemukan beberapa peneliti dan seniman teater di Sumatera Barat. Melalui kerjasama dengan berbagai lembaga dan perorangan, Lembaga Penelitian Dan Penciptaan Teater Tambologi memfokuskan diri pada kerja-kerja penelitian dan pendokumentasian terhadap berbagai potensi kesenian rakyat, dan selanjutnya menjadikannya sebagai sumber penciptaan teater dan seni pertunjukan baru secara umum, juga menerbitkannya sebagai referensi dan pengayaan.

Di samping itu, Lembaga Penelitian dan Penciptaan Teater Tambologi juga membuka diri untuk kerja-kerja budaya, terutama berkenaan dengan kerja-kerja pengelolaan kesenian, memfasilitasi, dan memediasikan berbagai kegiatan kesenian, terutama di bidang seni pertunjukan.

Alamat: Jln. Bahder Johan No. 15 Kp. Dobi Padangpanjang Sumatera Barat. Tlp. +62752 7030738. e-mail: tambologi@yahoo.com url: http://tambologi.wordpress.com

Contact Person: Dede Pramayoza, mobile. +6281535316908, email. deprayoza@gmail.com / Wendy HS, mobile. +6281513123679, email. w_wen2000@yahoo.com

READ FULL ENTRY>>

Wendy Hs

Wendy HS, dilahirkan di Simabur, 5 September 1974. Menyelesaikan pendidikannya di Jurusan Teater ISI Yogyakarta (2005). Memulai kegiatan berteaternya sebagai aktor Teater Plus INS Kayutanam (1992-1996), dan terlibat pada pementasan “Front” (1993), “Hamba-Hamba” (1994), “Perguruan” (1995), “Musikal Teater; sebuah kolaborari Barry Bernhard (1996). Di Yogyakarta, ia menjadi aktor Freelance di selama 10 tahun (1996-2006) dan terlibat dalam pementasan antara lain: “Monzerat” (Gedung Societed Taman Budaya Yogyakarta, 2000), ”Barabah” (Gedung Societed Taman Budaya Yogyakarta, 2001), “Mal Praktek” (Teater Latar Yogyakarta di TVRI Yogyakarta dan Gedung Societed Taman Budaya Yogyakarta, 2002), “Malam Jahanam” (Gedung Societed Taman Budaya Yogyakarta, 2003), “Orang-Orang Yang Bergegas”, (Akademi Kebudayaan Yogyakarta di Purna Budaya Yogyakarta, Gedung Kesenian Jakarta, Auditorium UMM Malang dan Auditorium UKDW Surabaya, 2004), “Monolog: Matinya Seorang Pejuang” (Gedung Pertunjukan Taman Budaya Bandung, Taman Budaya Bengkulu dan Lap. Perkemahan Batu Malang, 2006). Pada masa yang sama ia juga menjadi Sutradara Freelance dan mnggarap: “Eksplorasi Hitam” (Purnaman Teater Garasi Lembaga Studi Realino Sanatadharma Yogyakarta, 1997), “Cermin” (Pendopo ASDRAFI Yogyakarta, 1997), “Nol” (Auditorium Teater ISI Yogyakarta, 1997), “Malam Jahanam” (Gedung Societed Taman Budaya Yogyakarta, 1999), “Soyang: Sebuah Pertunjukan Musikal Teater” (Kerjasama kelompok music LaPen dan Mataemprit Yogyakarta di Auditorium UNM Malang, 2000), “Repertoar Pijar dan Irama Jalanan: Sebuah Pertunjukan Musikal Teater” (Kerjasama kelompok music LaPen dan Mataemprit Yogyakarta, 2002), “Repertoar Pengamen Tua Pertunjukan Teater Musikal karya Wendy HS & Imron Rosadi” (Auditorium SMA 1 Madiun, 2002), “Opera: Si Malin Kundang karya Raudal T. Banua” (Art Center Taman Budaya Yogyakarta, 2005). Mendirikan LPPT Tambologi bersama Dede Pramayoza di tahun 2006, dan terlibat pada: “Purgatori: Suatau Eksplorasi” (LPPT TAMBOLOGI Taman Budaya Bengkulu, April 2007), “Musical Drama Tuanku Garang Karya/Sutradara Dede Prama Yoza” (Sanggar Si Kambang Manih Padangpanjang dan LPPT Tambologi, Auditorium University of Science Malaka, Kuala Lumpur dan Negeri Sembilan Malaysia, 2007). Selanjutnya menjadi kreator pada produksi LPPT Tambologi: “Tambologi 1: Retroaksi” (Taman Budaya Sumatera Barat, Taman Budaya Lampung, JakArt Festifal, 2007-2008)

Alamat: Jl. Bahder Johan No. 15 Kampung Dobi Pasar Usang Padangpanjang Sumatera Barat 27128. READ FULL ENTRY>>

Dede Pramayoza

Dede Pramayoza, kelahiran Bandung, 08 Agustus 1980. Bersama Wendy HS mendirikan LPPT Tambologi Padangpanjang pada akhir Desember 2006. Setelah menamatkan SLTA di SMU Negeri 1 Cimahi Jawa Barat (1998), lalu memutuskan untuk kembali ke Sumatera Barat dan akhirnya menyelesaikan S-1 pada Program Studi Teater STSI Padangpanjang, dengan Minat Utama Penyutradaraan (2005). Mendirikan dan kemudian menjadi Litbang dan Kepustakaan RST (Ruang Studi Teater) Sakata Padangpanjang (2000-2005). Mengawali dunia tulis-menulis dengan menjadi Reporter Jurnal Laga-Laga STSI Padangpanjang (2000-2002), dan kemudian (2007-Sekarang) menjadi Redaktur Ahli pada UKM Pers Mahasiswa STSI Padangpanjang. Dunia penelitian mulai digeluti saat dipercaya menjadi Editor Jurnal “Gema Seni”, terbitan UPT Komindok STSI Padangpanjang (2006-2007). Beberapa hasil tulisan dan hasil penelitian yang telah dipublikasikan adalah: “Skenografi dan Material Dramaturgi” (Jurnal GEMASENI No. I Vol. 2 November 2006, diterbitkan oleh UPT Komindok STSI Padangpanjang), “Motif Pemeranan Pada Trilogi Sel dan Tulang Tya Setyawati” (Jurnal GEMASENI No. II Vol. 4 November 2007, diterbitkan oleh UPT Komindok STSI Padangpanjang), “Sinergi Dua Lembaga; Pentas 10 Karya Jurusan Teater Padangpanjang di TBSB” (Buletin MISI; Media Informasi Seni, Edisi 29. April 2008, diterbitkan Taman Budaya Sumatera Barat Padang), “Isu Perempuan Dalam Trilogi Sel Dan Tulang, karya Tya Setiawati; Sebuah Analisis Motif dan Rekaman Proses Penciptaan Teater” (Program Penelitian, Penterjemahan dan Penerbitan Teater Garasi Yogyakarta, 2007 (Belum diterbitkan)), “Sistem Penandaan Teater” (Diktat, Puslit dan P2M STSI Padangpanjang, 2008). Saat ini menjadi Manajer Program dan Peneliti pada LPPT Tambologi Padangpanjang, dan adalah Komite Teater Dewan Kesenian Sumatera Barat (2007-Sekarang).

Alamat : JL. Bahder Johan, Gg. Gelatik No. 28 RT VII Guguak Malintang Padangpanjang Sumatera Barat 27128, HP. 081535316908 / 081266015908, url : http://dedepramayoza.blogspot.com, e-mail: capoengbiroe@yahoo.com / deprayoza@gmail.com

READ FULL ENTRY>>

Tentang Situs TAMBOLOGI

SELAMAT DATANG DI TAMBOLOGI !
Situs ini adalah situs resmi Lembaga Penelitian dan Penciptaan Teater (LPPT) Tambologi. Dibuat untuk menginformasikan berbagai hal yang berkenaan dengan kegiatan, personil yang terlibat, serta perkembangan proses penciptaan dan penelitian yang dilakukan LPPT Tambologi. Sumbang saran dan kritikan dari semua pihak yang peduli, sangat kami nantikan. Karena itu, jika ada ‘yang terasa di hati’ perihal Tambologi, silahkan mengabari kami di sini…

Semoga bermanfaat…

READ FULL ENTRY>>

Catatan Pementasan Teater TAMBOLOGI 1: Retroaksi

Cyber” di Pentas Teater Padang
Wendy HS dan Dede Prama Yoza, teaterawan dari Padang, dalam pertunjukan berjudul Tambologi 1: Retroaksi, Rabu (30/4). Pertunjukan itu berkisah tentang kehidupan masyarakat tradisional di tengah teknologi maju yang berkembang pesat dan menjangkau hingga ke desa-desa.

Kamis, 8 Mei 2008 | 00:12 WIB

Kesabaran tidak lagi harus menunggu bagiku kini. Sebab, sedari tadi setiao orang sudah berbondong-bondong terbang mengitari langit. Berpindah-pindah benua dalam 1,375 detik bersama siaran berita-berita, infotainment, reality show, variety show, film, atau iklan-iklan dalam daftar chanel-chanel televisi kabel langganannya. Sementara aku belum juga punya kartu identitas sebagai sebuah persyaratan mengajukan kredit untuk sekadar memiliki seperangkat peralatan digital antena parabola. Sungguh….Sungguh, aku sangat ingin terbang ke alamatmu. Satu titik di mana kau pertama kali menginjakkan khaki di tanah ini”.

Teaterwan Wendy HS dan Dede Prama Yoza mencoba menghadirkan refleksi dunia cyber dalam pentas teater bertajuk Tambologi 1: Retroaksi, Rabu (30/4) di Taman Budaya Sumatera Barat.

Inilah pentas yang berasal dari ide masa kini yang masih digarap secara konvensional. Pentas teater sekitar 60 menit itu mencoba menghadirkan kegamangan masyarakat tradisional dalam sebuah dunia cyber yang serba cepat. Masyarakat yang masih berpijak pada nilai-nilai tradisional berhadapan dengan sebuah dunia yang ditopang teknologi canggih dan menembus batas- batas wilayah dan waktu. Wendy dan Dede?kreator sekaligus pemain?mencoba memotret kegamangan-kegamangan itu dengan memilih aneka simbolisasi. Dari pemilihan kostum, mereka memadupadankan dua dunia yang masih hidup saat ini. Baju yang mereka gunakan adalah baju merah-kuning yang mempunyai motif khas Minangkabau. Kain sarung menjadi penutup bagian bawah, kendati sarung ini hanya dipasang tiga perempat. Keduanya memilih alas kaki berupa sepatu boot hitam yang bertali hingga bagian atas. Sepatu ini dipadukan dengan kaus kaki yang hampir menyentuh lutut. *Tidak mewah* Properti pentas juga tidak mewah. Mereka memakai tangkai besi yang mempunyai ujung bulat seperti roda. Sepuluh tisu gulung direntangkan memanjang di bagian tengah-belakang pentas. Suara yang telah modifikasi?sehingga sebagian penonton menyebut suara itu sebagai suara horor?menjadi pengiring pertunjukan teater. Suara itu seperti suara-suara yang kerap dipakai untuk menunjukkan nuansa dunia cyber. Wendy dan Dede juga menampilkan teater mini kata yang sebagian besar kalimat yang disampaikan seperti sebuah prolog panjang yang dibawakan dengan nada datar. Pada kesempatan lain, mereka mengulang-ulang kata. Dari sisi gerak, tidak ada yang istimewa dari pertunjukan ini. Mereka tetap memakai gerak- gerak seperti pertunjukan teater pada umumnya, yakni gerakan mundur, langkah tegap seperti berbaris, atau gerakan lain yang ingin menyerupai gerakan pencak silat. *Wacana* Pementasan teater kedua kerja sama STSI Padangpanjang dan Taman Budaya Sumatera Barat ini menawarkan sebuah wacana tentang dunia saat ini dengan berbagai teknologi modern yang tidak bisa ditolak kendati masyarakat belum lagi siap menerimanya. Dalam diskusi setelah pentas, kedua kreator menyebutkan bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat Minangkabau yang sudah kehilangan sebagian identitas diri mereka. Kehidupan modern yang masuk lewat media televisi, internet, maupun dalam pergaulan sehari-hari lebih mendekatkan masyarakat pada dunia di luar kehidupan sehari-hari yang dekat dengan mereka. ?Kami mencoba membawakan pencak silat dalam pertunjukan ini. Namun, memang masih jauh dari kesempurnaan gerak pencak silat. Ini juga menjadi contoh masyarakat saat ini yang semakin jauh dari akar budaya kami,? kata Wendy. *Daerah terasing* Kedua pemain memang hendak menunjukkan diri mereka sebagai representasi putra daerah yang terasing dari budaya daerah mereka. Sayangnya, teater kali ini belum banyak mengeksplorasi gerak atau properti sebagai kesatuan pementasan yang bisa menunjukkan sebuah budaya yang melampaui tradisi yang ada saat ini. Kedua pemain seakan masih terikat pada tradisi gerak dan pementasan pada umumnya sehingga terkesan sangat monoton.

Sumber : www.kompas.com (8 Mei 2008)

READ FULL ENTRY>>

Catatan Pementasan Teater TAMBOLOGI 1: Retroaksi

STSI ”Pukau” Penonton

Jumat, 02 Mei 2008
Padang, Padek– ”Kata…., makna…, tanda…, zat.” Penggalan ucapan ini dilontarkan Wendi HS dan Dede Prama Yoza saat menampilkan teater yang berjudul ”Tambologi 1: Retrokasi” di Taman Budaya Padang Rabu (30/4). Kedua kreator ini mengambil kata-kata dari hasil pemikirannya setelah membaca tambo. Memberikan warna tersendiri dalam dunia teater Sumbar. Kata-kata itu yang selalu terucap dari kedua aktor. Meski minim kata, penampilannya tampak hidup dan mampu mengisi ruang-ruang panggung yang kosong. Hal itu ditutup Wendi HS dan Dede Prama Yoza dengan bloking-bloking yang tergolong menegangkan. Bahkan bunyi tonggak-tonggak simbol payung pun membuat penampilannya semakin hidup.
Selain itu, gestur dan bloking yang memenuhi panggung membuat penonton berpikir keras untuk menangkap maknanya. Sehingga Dona (20), salah seorang penonton hanya mengaggap itu sebagai dunia digital yang hidup di tengah-tengah masyarakat Minangkabau. Sehingga nuansa warna musik bansi dan saluang mulai tergantikan dengan musik-musik digital. Teater garapan mahasiswa STSI Padangpanjang ini tergolong absurd. Karena minim kata kaya gestur. Di atas panggung Wendi HS dan Dede Prama Yoza yang mengenakan baju taluak balango yang dikombinasikan dengan sepatu anak muda sekarang. Sementara dibagian kakinya mereka mengenakan kaus kaki warna putih hingga lutut. (mg7)

Sumber: www.padangekspres.co.id

READ FULL ENTRY>>

Catatan Pementasan Teater TAMBOLOGI 2: Ovullum dan Segumpal Tanah

Baca! Bacalah Atas Nama

(Catatan Pementasan Tambologi 2, STSI Padangpanjang)

Esai Pinto Anugrah

Pementasan dibuka dengan narasi “baca” yang lumayan panjang dari seorang perempuan, yang menjelaskan inti dari cerita pementasan. Seorang perempuan, dengan narasi tersebut, sudah menyimbolkan Minangkabau dengan segala pergelutannya—ya, masih dengan persoalan matrilineal Minangkabau, yang terkandung di dalam tambo atau undang-undang Minangkabau.

Baca! Kita pun dibawa membaca Minangkabau malam itu dengan pementasan yang berjudul Tambologi 2, karya dan sutradara Wendi HS, pada tanggal 4 November 2008 di Teater Kecil Taman Budaya Sumatra Barat, Padang. Struktur cerita yang rapi, walau komunikasi visualnya banyak dilakukan dengan tubuh—dengan sedikit bahasa mulut—tapi kita dapat mengikuti alur ceritanya dari awal sampai akhir.

Bacalah Tambo (ataukah Kaba)

Cerita dimulai dengan munculnya pergelutan tubuh yang dipadu dengan permainan cahaya. Menandakan seperti sebuah prolog. Perempuan muncul di atas sebuah level dengan narasi “baca”, seperti yang telah diceritakan pada awal tadi. Selanjutnya di tengah panggung, tubuh-tubuh yang terbungkus dan terikat mulai menggeliat. Tubuh-tubuh itu saling terikat pada satu titik di bagian atas panggung dan seluruh tubuh itu terbungkus dengan plastik. Tentu saja bentuk visual seperti itu membawa ingatan kepada sebuah rahim yang menyimpan orok-orok manusia.

Tubuh-tubuh itu saling menggeliat, bahkan mencoba untuk berontak keluar dari kantong-kantong rahim tersebut. Lalu seakan tubuh-tubuh itu sedang melakonkan lakonkan kehidupan sebenarnya—yang akan mereka hadapi. Sebenarnya lakon tubuh-tubuh ini bentuk visual yang dihadirkan kepada penonton dari bayangan isi kepala perempuan narasi tadi—mungkin bisa kita sebut dengan Ibu.

Ibu seakan sedang menceritakan ketakutannya terhadap posisinya sebagai seorang “ibu”. Ketakutan-ketakutan itulah yang membawa narasi cerita, hingga merunut kepada peranan seorang ibu di dalam sistem kekerabatan yang bernama matrilineal. Narasi pun, kemudian, tidak bisa lepas dari cerita kaba. Muasal dongeng perempuan dalam cerita tradisi Minangkabau tersebut.

Datangnya kelapa gading sebagai penutup dari narasi tersebut seakan memberikan kesimpulan terhadap inti titik ke berangkatan narasi itu. Kelapa gading meninggalkan jejak (trace), jejak tentang Bundo Kanduang, tokoh kaba Cindua Mato, tokoh perempuan yang paling populer dan saat ini tetap menjadi ikon perempuan-perempuan Minangkabau. Mungkin hal inilah yang menjadi kegelisahan yang ingin disampaikan dalam pertunjukan ini.

Bundo Kanduang, seorang pemimpin (raja) Minangkabau pada saat itu (jaman di dalam kaba) tidak memiliki suami atau pendamping tetapi memiliki anak. Namun, cerita Bundo Kanduang ini tidaklah menjadi aib atau malu bagi orang identitas Minangkabau, karena di kaba tersebut diceritakan bahwa Bundo Kanduang dapat melahirkan seorang anak setelah minum air kelapa gading.

Secara norma ketimuran, bukankah hal tersebut sebuah aib besar. Seorang perempuan tanpa bersuami bisa memiliki anak. Namun kenapa tidak menjadi sebuah aib, malah Bundo Kanduang tetap menjadi ikon bagi masyarakat Minangkabau, khususnya perempuan? Kabalogi atau Tambologi, apa itu?

Bacalah Tubuh (ataukah Karakter)

Penataan lampu yang kurang siap membuat pertunjukan ini kurang enak untuk dinikmati. Sepuas-puasnya. Padahal pergulatan tubuh yang apik dengan narasi cerita yang terstruktur sangat sayang terlewati. Alur cerita yang berlangsung dengan (dominan) tubuh, yang tentu saja bahasa pun berlangsung dengan tubuh. Bagaimana seonggok tubuh dapat menyampaikan sebuah cerita ke kepala penontonnya tanpa muntahan kata-kata.

Tubuh lahir menjadi identitas yang paling inti. Namun, walaupun sebagai yang paling inti tubuh tidaklah menjadi mutlak. Namun pada pertunjukan ini, lagi-lagi, tubuh dihadirkan sebagai sebuah mesin, bukan tubuh sebagai sebuah rasa yang mempunyai hakikat tubuh yang lengkap. Tubuh-tubuh itu, yang sebagai orok-orok, tidak lagi mempunyai jiwa, emosi, dan hasrat batin. Bahkan untuk dirinya sendiri—personal—pun tidak. Karena tubuh tidak hanya sekedar seonggok daging mentah yang mesti digerak-gerakkan begitu saja.

Estetika tubuh yang ditampilkan, luar biasa, bahkan melampaui gerakan abnormal tubuh itu sendiri. Yang menghasilkan sebuah alur cerita yang ingin disampaikan oleh pertunjukan itu sendiri. Mulai dari tiga sosok tubuh yang terbungkus di dalam kantong plastik yang bergerak-gerak namun tetap terikat pada sumbunya. Membawa ingatan kita pada sesosok orok di dalam rahim yang mempunyai tali pusar ke tubuh induknya. Namun ketiga sosok orok itu cenderung mengarah pada pergulatan estetik tubuh yang sama.

Tidak adanya karakter yang membedakan bahwa ketiga sosok orok itu menjadi tubuh yang berbeda. Tidak ada identitas di dalamnya. Tiga sosok orok itu menjadi sia-sia, ataukah ada maksud lain di balik kesamaan tiga sosok orok itu. Kalau memang ada kenapa tidak ada perbedaan, karena sebuah maksud bisa ditandakan dengan sebuah identitas.

Karena tubuh bukanlah mesin. Sebagai tubuh yang lengkap tentu saja membawa sebuah karakter sebagai sifat dan sifat itu melahirkan sikap sebagai identitas.

Bacalah Atas Nama

Simbol, akan selalu hadir di tiap jengkal jalan pertunjukan, karena tanpa simbol maka pertunjukan akan menjadi sia-sia. Di dalam pertunjukan ini beberapa simbol keminangkabauan dicoba (kembali) diusung ke atas pentas. Walau telah dibawa ke dalam konteks kekiniannya Minangkabau dalam lingkup ke modernnya.

Beberapa simbol penting itu hadir, walau itu berbentuk kata maupun bentuk lakuan pemainnya. Beberapa yang tercatat—dan mungkin saja ada yang luput atau terlewati—seperti sosok seorang ibu, buah kelapa gading, dan beberapa kata yang menandakan identitas seorang Minang. Begitu juga dengan gerakan blocking ketiga orok itu dari satu tempat ke tempat yang lainnya, yang menyimbolkan pencarian identitas laki-laki Minangkabau dalam perantauannya.

Namun terkadang simbol itu juga menjadi menyesatkan dengan tidak adanya melahirkan teks yang lain di luar itu. Ada beberapa simbol yang hadir, yang mencoba untuk membongkar masih hadirnya Minangkabau saat ini, namun lagi-lagi simbol itu menjadi kosong, hanya sekedar penanda yang habis di atas pentas, tidak ada kelanjutannya yang akan melahirkan pemahaman konteks Minangkabau yang baru, masih berkutat pada pergelutan lama yang tidak ada habisnya.

Walau begitu, setidaknya, pementasan ini telah menghabisi penontonnya dengan tubuhnya. Dengan bahasa-bahasa tubuh yang melahirkan simbol-simbol yang mesti dibawa pulang. Tubuh-tubuh itu berhasil menyampaikan kata-kata kepada penontonnya. Dan penonton dipaksa untuk membaca kata-kata itu. Seperti dialognya yang sering terlontar, “baca!”

Ya, baca! Bacalah atas nama apa saja tentang apa saja.

READ FULL ENTRY>>

Catatan Pertunjukan Teater TAMBOLOGI 2: Ovullum dan Segumpal Tanah

Belajar Hidup Dengan Kista

oleh: Romi Mardela


Masyarakat belum berani menyampaikan kritik terhadap diri mereka sendiri, hal inilah yang membuatnya lambat maju. Seperti yang disampaikan Dede Prama Yoza, Sutradara dalam pertunjukan teater kontemporer dengan judul “ovulum dan segumpal tanah” di Taman Budaya, Padang.

Kritik atas ketidakberanian masyarakat dalam mengkritik dirinya sendiri itu baru disampaikan sebelum penutupan pertunjukkan. Seakan ingin menyampaikan kepada penonton agar persoalan tersebut di jawab sendiri.

Seperti halnya dengan konsep yang ia tawarkan yang diangkat dari tambo Minangkabau tersebut, ia tidak ingin tampil frontal dengan lagsung mengkritik masyarakat. Karena menurutnya, masyarakat (penonton) sudah cerdas untuk memanai sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri.

“Begitulah pesannya, si Ibu meneriakkan bahwa ia menderita kista sebelum lampu padam petanda pertunjukkan usai,” ujarnya.

Kista merupakan salah satu penyakit yang sangat memalukan bagi seseorang pengidapnya. Bahkan untuk masyarakat Minangkabau sendiri penyakit tersebut menjadi aib, dan terkadang lebih ekstrem, penderitanya dijauhi dalam kehidupan bermasyarakat.

Teater yang dipertunjukan melalui kerjasam STSI Padangpanjang dengan Taman Budaya Sumatera Barat ini, mengawali pertunjukkan melalui tambo Minang.

Pada perjalanan ceritanya, ditampilka sebuah ‘percakapan’ bakal anak di dalam rahim. Ada tiga orang anak yang berbicara tentang asal-usul, serta perjalanan mereka selama di dalam rahim. Siklus biologis proses kelahiran seorang anak manusia dipadu dengan tambo, yang melahirkan sebuah monologis yang luar biasa tajamnya.

Bahkan terkdang dalam monolgis tersebut mereka menyampaikan keperihan, kesakitan, dan ketakutan. Hal itu mereka tunjukkan dengan terkekangnya tubuh mereka dalam balutan lendir (atau plastik sebagai properti yang diibaratkan menjadi lendir). Seperti memperdebatkan tentang sesuatu tentang penciptaan manusia yang tidak pernah disadari.

Lalu si ibu menarik perutnya yang tengah bunting itu. Seperti mencabik-cabik dan melawan kehendak ia terus saja berteriak lantang, sembari tangannya menarik lendir dari perutnya yang bunting. Hal ini diikuti oleh ketiga anak yang masih dibungkus lendir-lendir dalam rahim tersebut.

Dengan pergulatan panjang, sang anak baru daat melepaskan diri dari jeratan lendir itu. Lalu dengan sigap ia pun segera membersihkan orok yang dibawa serta bayi tersebut. Selanjutnya si ibu kembali menghilang yang diikuti dengan teriakan ketiga anaknya.

“Amak, Amai, Mandeh,” ketiganya menyebutkan ibu dengan cara yang berbeda.

Tidak hanya di dalam rahim mereka berteriak menantang untuk bertanya. Bahkan setelah mereka bebas pun, masih tetap mempertanyakan eksistensi kehadiran mereka di atas bumi.

Apakah kehadiran mereka di atas bumi dikehendaki? Kenapa mereka tidak dilahirkan di istana ataupun di dekat daerah di perkampungan mereka? Lalu kenapa namanya tidak menggunakan nama sangsakerta? Semua pertanyaan itu mereka lontarkan tanpa mendapat jawaban sama sekali.

“Ini yang saya sebut kritik terhadap diri sendiri. Apakah saya yang orang Minang ini benar-benar orang Minang? Lihatlah orang jaman sekarang, apa yang sebenarnya menjadi identitas bahwa ia dapat dikatakan orang Minang? Itu yang saya rasa, saya tidak menemukannya, lalu melalui pengkajian tambo saya ingin menafsir ulang kembali untuk mendapatkan identitas yang sebenarnya.” katanya.

Menurutnya orang yang kehidupannya dapat melaju dengan pesat adalah orang-orang yang mengakui kesalahan dan kekuranganya. Dan kista yang diibaratkannya dengan penyakit masyarakat merupakan suatu hal yang tidak perlu ditutupi namun harus diobati atau diperbaiki.

“Apa susahnya menjadi orang yang mengakui kelemahan dan kekurangannya. Jawabnya ada pada diri masing-masing,” tutup dosen bidang Dramaturgi ini.

READ FULL ENTRY>>
READ FULL ENTRY>>